Pedagang-pedagang Cina pertama yang tinggal menetap di Selayar dimulai pada awal abad ke-9. Deskripsi tahun 1837 menyebutkan ada empat orang cina bermukim di Selayar. Pedagang Cina tersebut mengumpulkan Teripang yang ditukar dengan uang, tembakau, barang pecah belah Cina dari tanah liat, pedagang Cina menetap dipulau (Padang) untuk mengorganisasi produk laut yang dikumpulkan oleh suku Bajo, seperti teripang, kulit penyu, induk mutiara. agar-agar, dan karang laut.
Pendiri Padang adalah Tjoa Lesang (Baba Lesang). Dia adalah anak perkawinan silang dan kemungkinan orang ini adalah Cina Freys (seorang Belanda) bertemu dengannya pada tahun 1840 di Selayar. pada akhir tahun 1830 an Tjoa Lesang mencari tempat yang lebih menjanjikan untuk membangun pos dagang di Selayar. Sebuah dataran 10 Km sebelah selatan pos Belanda yang digunakan nelayan dianggap cocok untuk tujuang tersebut. Tempat itu Padang terlindungi dengan baik oleh dua musim dan menawarkan tempat berlabuh dengan nyaman.
Pada 1855, Tjoa Lesang bersama dengan Kwee Ong Hi Tong, Dg Bangu, Dan supu mendominasi perdagangan teripang di Padang. pada dekade yang sama armada Selayar untuk nelayan teripang berjumlah 60 perahu yang kembali setiap tahunnya dengan 300 kwintal teripang. Pada masa pemerintahan Bonto Bangun Opu Umara Dg Macora Padang tumbuh menjadi desa dengan 1500 penduduk tahun 1884. Pedagang cina di Padang diizinkan mendirikan pelabuhan masuk (transit) untuk perdagangan Makassar dan Indonesia timur. Dalam perkembangan padang menjadi penyuplai pasar dunia.
Pada era ini lalu lintas perdagangan di Padang menjadi lebih beragam, mereka mengontrol import tekstil Eropa ke Selayar dengan berperan sebagai agen perusahaan Weyergang dan Co dan Ledeboer dan co. Pada tahun 1847 berkolaborasi dengan perusahaan mesman dan perdagangan Cina Thing Hang yang membiayai teripang Padang. Firma-firma Eropa juga menggunakan jaringan dagang padang untuk mendistribusi tekstilnya ke Maluku dan juga Sunda kecil.
Pada tahun 1879 Belanda menemukan bahwa Padang, Batang Mata dan Pamatata (Tanete) menjadi pusat penyelundupan mesiu dan singapura.dalam kegelapan museu di pak dalam kaleng disimpan di pinggir laut dekat pemukiman untuk menghindari Control Belanda. Jangkar dan Meriam merupakan bukti arkeologis dari kapal yang karam di Padang.
Desa Nelayan Padang dibalik ketandusannya menyimpan sejarah lalu-lintas pelayaran dan perdagangan pada abad 17-18 yang dibuktikan dengan adanya JANGKAR dan MERIAM.
Meriam tersebut merupakan peninggalan dari BABA DESAN seorang saudagar keturunan Cina dari GOA yang datang beserta dagangannya, dengan tujuan mendapatkan perairan baru untuk mendapatkan hasil laut seperti Teripang, Ikan, dan sebagainya. Kapal Baba Desan tersebut dilengkapi dengan beberapa senjata seperti meriam tombak serta panah sebagai persiapan dari adanya serangan bajak laut.
Selain itu Padang merupakan tempat persinggahan untuk mengisi persediaan air serta tempat perlindungan dari kondisi cuaca dan musim dalam suatu rute pelayaran. Berdasarkan musyawarah yang dilakukan maka diputuskan untuk menetapkan dan menjadikan Padang sebagai tempat penampungan tangkapan mereka.
Demikianlah awal kedatangan Baba Desan yang membuat daerah itu menjadi ramai oleh kedatangan orang-orang pedalam untuk menukar hasil pertanian mereka dengan hasil tangkapan teman-teman Baba Desan.
Padang berasal dari kata “Pada” yang berarti tumupukan pasir dan karang yang merupakan bahasa orang Bajo (Kawan sepelayaran Baba Desan). Pada perkembangannya Padang menjadi tempat persinggahan saudagar yang mengadakan pelayaran. Saudagar Minangkabau yang sedang mengadakan pelayaran dan kebetulan melewati tempat itu bernama Ince Abdul Rahim yang dalam perjalanannya menuju Maluku (Ambon) singgah menemui Baba Desan, dari perkenalan ini Ince Abdul Rahim sering singgah di daerah tersebut. Saudagar-saudagar yang datang kedaerah ini, itu tidak hanya tinggal tapi juga melakukan hubungan pernikahan dengan penduduk sekitar. Keturunan dari saudagar itulah yang menjadi penghuni Padang ditambah dengan pendatang dari pedalaman. Kuburan dari saudagar itu dapat kita jumpai di Dongkalang.
Pada akhir abad ke-17 seorang saudagar Cina bernama GOWA LIONG HUI (Baba Bos Kamar), datang dengan membawa kapal dagang yang sangat besar.
Akhirnya setelah bertahun-tahun kapal besar GOWA LIONG HUI melewati dan menyinggahi “Kampung Padang” akhirnya rusak dan tidak dapat digunakan lagi untuk berlayar.
Jangkar kapal itu kemudian diambil oleh penduduk dan diamankan bersama meriam peninggalan Baba Desan yang hingga kini masih dapat kita saksikan ditengah-tengah “Kampung Padang”.
Demikianlah sejarah singkat JANGKAR dan MERIAM yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang harus kita jaga sebagai bukti kejayaan di masa lampau.
Meriam I
Panjang 117 cm, diameter mulut Meriam 17 cm, dan diameter lubang mulut meriam 8 cm
Meriam II
Panjang 123 cm, diameter mulut Meriam 23 cm, dan diameter lubang mulut meriam 10 cm
Meriam III
Panjang 125 cm, diameter mulut Meriam 18 cm, dan diameter lubang mulut meriam 8 cm
Jangkar I
Panjang Batang 226 cm, panjang lengkungan 167 cm dan lingkar batang 60 cm
Jangkar II
Panjang Batang 229 cm, panjang lengkungan 117 cm dan lingkar batang 70 cm
Narasumber : Hj. Andi Mas Tulen
Penyusun : KKN UNHAS GEL.53 Th. 1997
Penanggung Jawab : Andi Bachtiar (Kepala Desa Bontosunggu)